HAI, baru sempat nge-post. Aku ngasih pembaca sekalian satu cerpen yang merupakan gabungan dari beberapa fakta dan beberapa khayalan. ENJOY :)
~
Tiga tahun sudah berlalu
semenjak gadis mungil itu memulai kehidupan baru di sekolah barunya. Ia sudah
bisa bercanda-tawa dan sedikit-sedikit melupakan masa lalunya yang kelam. Ia juga
sudah memiliki banyak teman dan bahkan menjadi anak kesayangan beberapa guru.
Namun,
anemia yang dideritanya ternyata semakin tidak bersahabat. Sampai suatu hari, ia
jatuh pingsan di sekolah dan koma selama dua hari, tertidur begitu pulas dengan
wajah yang sangat polos.
Saat ia bangun, ia tak mendapati satu orang pun di ruangannya. Namun, orang tuanya dan seorang suster masuk tak lama setelah ia siuman.
“Veranny
sudah merasa lebih baik?” ujar si perawat sambil meletakkan makanan untuk gadis
itu dan tersenyum.
“Sudah,
Sus. Thanks, ya,” balasnya ikut
tersenyum ramah.
“Ma, memangnya Ve gak sadar berapa hari? Kok, Ve bisa pingsan?”
“Hampir
dua hari, Ve. Kamu itu mau mama sama papa dapat serangan jantung, ya? Pingsan
tiba-tiba. Kata dokter, kamu minum obatnya gak
teratur, Ve.”
Ve,
nama panggilan gadis tujuh belas tahun itu, mengangguk mengerti dan tersenyum
bersalah melihat kedua orang tuanya cemas. Melihat mereka khawatir karenanya
adalah hal yang tak pernah ada dalam daftar hal yang ingin dilakukannya.
“Suster,
besok saya sudah boleh sekolah?”
“Belum,
kamu baru boleh pulang besok, Veranny. Lusa kamu sudah boleh sekolah. Ingat
jaga kesehatan, ya.”
Ve mengangguk lagi. Berada di rumah sakit juga merupakan salah satu hal yang
dibencinya. Bosan dan kantuklah yang akan menyerangnya. Untungnya, mamanya yang
begitu perhatian membawakan i-Pad dan
beberapa camilan kesukaannya.
Ia
mulai bermain dengan social media-nya.
Melihat facebook juga twitter miliknya, berharap ada ucapan
cepat sembuh dari teman-temannya. Namun, ternyata ia malah mendapatkan kejutan
lebih dari itu.
Ia
melihat sebuah link yang masuk ke
dalam mention di twitter-nya. Tak perlu membuka isi link itu, Ve sudah tahu. Ia tahu apa yang ada di dalamnya. Semua
caci-maki dan cibiran pedas dan menusuk hati dari teman-temannya menjadi
jawabannya.
“Dasar cewek tidak
tahu malu! Hampir tiga tahun berteman
dengan seseorang yang kukira polos, namun ternyata hina sekali!” Begitu
bunyi salah satu mention yang masuk.
Video
yang sama dari tiga tahun yang lalu. Video yang mungkin tak akan pernah
berhenti ia sesali. Sebuah kesalahan yang meluluhlantakkan harga dirinya.
Kesalahan yang terus membuatnya terpojok dan merasa dingin memilukan kala malam
tiba. Kesalahan yang sempat membuatnya ingin mengakhiri hidupnya yang berharga.
Video
itu kembali merobohkan seluruh dinding yang tengah ia bangun, dinding yang ia
namai sebagai harga diri. Video itu kembali bergelantungan bak awan hitam dalam
hidupnya. Video itu kembali menguak luka dan cerita lama. Kisah yang
benar-benar tak ingin Ve tuturkan kepada siapa pun.
~
3
tahun lalu, tepat pada tahun 2007, saat ia masih seorang gadis kecil
yang polos, saat ia baru saja menjadi salah satu pengguna internet dan mengenal
seorang laki-laki melalui salah satu media sosial. Mereka berkenalan gadis
polos ini mengira bahwa ia adalah laki-laki yang bermoral baik.
Mereka
semakin dekat dari hari ke hari, berbagai hal-hal yang bersifat pribadi pun
telah meluncur menjadi bahan pembicaraan mereka. Sampai suatu hari, muncul
suatu permohonan yang berubah menjadi ancaman.
Laki-laki yang ternyata seorang maniak.
Laki-laki maniak itu meminta gadis kecil untuk menunjukkan dadanya melalui
sebuah video call. Tentu saja gadis
kecil itu menolak. Rayuan demi rayuan berhasil membuatnya menunjukkan sedikit.
Ia berpikir, tidak apa-apa bila ia menunjukkan sedikit saja.
Hari-hari berlalu dan maniak itu
kembali meminta hal yang sama. Kali ini, ia memaksa. Ia mengancam akan
menyebarkan rekaman video kemarin bila dia mendapat jawaban berupa penolakan. Ketakutan
mulai menguasai gadis kecil itu. Ia takut dan merasa tak berdaya. Semua
teman-temannya pasti akan menjauhi dan membencinya.
Namun, gadis kecil tahu bahwa ia
telah berbuat satu kesalahan dan ia bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ia
menolak dengan keras. Maniak tersebut ternyata tidak bermain-main dengan ancamannya.
Esoknya di sekolah, gadis kecil yang polos telah menjadi bahan untuk dicaci-maki
dan dilukai karena videonya sudah bocor bagaikan radiasi.
Ia pulang dengan harga diri dan
perasaan yang tersayat parah dan dalam. Ia merasa begitu hina dan gagal menjaga
dirinya sebagai seorang perempuan. Ia merasa begitu terpuruk dalam
ketidakberdayaannya. Sebagai seorang pelajar pun, namanya sudah
tercoreng-moreng.
~
Keinginan Ve untuk bersekolah sirna ditelan luka
lama yang kembali muncul ke permukaan. Ve memutuskan untuk berhenti sekolah, ia
tidak akan bersekolah lagi. Ia sudah tidak mau berhadapan dengan dunia luar. Ia
sudah tidak mau merakit hubungan dengan orang lain selain keluarganya. Ia tak
ingin mendengar lebih banyak lagi karena ia sudah lelah mendengar caci-maki itu.
Ia tidak akan pernah bisa terbiasa dengan semua perlakuan itu.
Ayah
Ve bertindak cepat, ia melaporkan kejadian ini kepada polisi. Seluruh chat Ve dengan laki-laki maniak tersebut
diperiksa dan ia tertangkap. Video-video yang beredar di internet pun sudah
dihapuskan.
Namun, itu tak berarti Ve bisa
tenang dan merasa damai. Videonya mungkin sudah tidak ada di internet, namun
siapa pun yang pernah melihatnya tak akan pernah memandangnya dengan cara yang
sama lagi. Semuanya hanya akan menghina dan memandangnya rendah. Melukai dan
menginjak harga dirinya yang sudah seperti abu.
Ia ingat kali terakhir ia bersekolah di sekolah
lamanya, wajahnya biru lebam penuh luka. Teman-temannya melemparinya dengan
batu-batu kecil dan botol yang masih penuh berisi air. Rambutnya ditarik dan
digunting acak-acakan. Di sana, ia hanya bisa duduk menggigil melindungi
kepalanya dengan kedua tangannya hingga guru datang melerai.
Ia pulang. Ia menangis dan
menangis sepanjang malam hingga jatuh tertidur. Saat pagi tiba, ia bangun dengan
wajah yang sanggup menoreh hati siapapun yang melihatnya. Mamanya menangis
tanpa bisa berbuat banyak selain memeluk dan memberikan sarapan terbaik yang
bisa dibuatnya.
Setelah hampir tiga bulan sejak ia melepaskan predikat
pelajar dari dirinya, tidak pernah ada yang datang menemuinya. Hingga suatu
sore yang mendung, datang seorang tamu yang tak pernah diduganya. Seorang
senior dari sekolahnya dulu, mengenakan kemeja biru gelap dengan kacamata
putih. Ve tidak tahu namanya, tapi ia tahu laki-laki itu adalah seniornya.
“Ah! Akhirnya ketemu juga sama
alamatmu, Ve,” ujarnya seraya menampakkan lesung pipinya yang hanya ada di
sebelah kanan.
Ve terdiam. Ia melihat keadaan
di luar, terparkir mobil ayahnya dan mobil Juke berwarna merah, yang
kemungkinan besar adalah milik seniornya itu.
“Emm... Boleh kita bicara?”
“Ah, iya. Silakan duduk, Kak. Sebentar, ya,” Ve
mempersilakan seniornya duduk di teras sementara ia menyeduhkan teh untuk
mereka berdua.
Ve kembali dengan baki berisi satu pot teh hangat
dan dua buah cangkir kecil. Dengan hati-hati, ia menuangkan teh tersebut ke
dalam dua cangkir kecil itu.
“Ve...
kenapa kamu berhenti sekolah?” tanya seniornya membuka percakapan.
“Bukankah
sudah jelas, Kak?” jawab Ve pahit sambil membuang pandangannya jauh-jauh.
“Eh,
apa kamu sudah mengenalku? Aku rasa tidak, ya?”
Orang gila, bertanya dan
menjawab sendiri, batin Ve sambil kembali memandang tamunya itu.
“Namaku George Marvell, kamu bisa manggil aku
Marvell, atau Ve saja, biar nama kita sama,” candanya disusul tawa renyahnya.
“Ada
apa Kakak ke sini?” tanya Ve langsung.
Marvell
terdiam. Ia tampak sedang berpikir akan menjawab apa.
“Aku cuma mau berteman sama
kamu. Boleh, kan? Aku tahu soal video itu. Tapi yang gak bisa aku pahami adalah, kenapa kamu gak pernah memberikan penjelasan ataupun perlawanan saat mereka menindasmu?
Aku yakin, kamu cuma terlalu polos waktu itu.”
“Semuanya memang salahku, Kak. Begitu polosnya
mempercayai orang, menjadi begitu hina dan tak berharga. Untuk apa, sih?” Ve yang
biasanya ramah berubah sinis. Entah mengapa
ia merasa seniornya terlalu ikut campur.
Meski begitu, tak urung Ve
merasa tersentuh. Karena ternyata, selain kedua orang tuanya, masih ada yang
menaruh perhatian padanya. Ia bersyukur kepada Tuhan, teramat sangat.
“Untuk membangun kembali harga
dirimu, kalau begitu. Tapi gak apa,
sih, kalau kamu enggak mau.” Marvell
terdiam lagi, merasa bersalah. Begitu juga dengan Ve.
“Ve?” panggilnya.
Ve mendongak, menatap wajah
seniornya.
“Aku sudah lulus sekolah dan
tinggal menunggu hasil tes masuk perguruan tinggi. Jadi, aku akan libur sampai kuliahnya
dimulai.”
“Lalu?” Ve bertanya tak paham.
“Kamu akan jadi teman liburanku. Kamu juga gak sekolah, kan? Daripada mengurung
diri di rumah lagi, aku bakal ajak kamu pergi. Jam 11 pagi, ya. Daaah!” Marvell pamit pada Ve dan
meluncur dengan Juke merahnya.
Ve ditinggal dalam keadaan kaget
dan bingung. Berada antara percaya dan tidak. Namun akhirnya, ia tersenyum.
Mungkin, ia hanya harus mulai menata kembali hidupnya. Mungkin, ia hanya harus
menapaki jalan lain, jalan di mana awan hitam tidak lagi bergelayut di atasnya.
Semoga saja, kali ini ia tidak akan dilukai lagi.
Esoknya, Marvell benar-benar
datang, bahkan lebih awal dari janjinya. Ve yang sedang menyesap tehnya pun
hanya bisa memasang wajah bodoh saat ia masuk ke dalam rumah Ve yang kebetulan
tidak terkunci dan menuju ke tempat mama Ve berada.
Setelah berbincang beberapa saat
dengan mama Ve, Marvell kembali ke tempat Ve berada dan meraih tangan kanannya.
Kali ini, Marvell tidak mengenakan kacamata putihnya, menampakkan mata cokelat
gelapnya yang berbinar nakal.
“Ayo! Kamu pasti suka.” Marvell
tersenyum dan menampakkan kembali lesung pipinya yang hanya satu itu. Ia lalu
menarik tangan Ve dan meluncur dengan Juke merahnya.
Marvell membawa Ve ke wahana
bermain. Ve awalnya sama sekali tidak berani mencoba wahana apapun karena takut.
Namun, ia berhasil dipaksa oleh seniornya itu. Marvell membelikan Ve dua gulali
kapas dan Ve juga tampak sangat ceria. Ia tampak sangat bersemangat dan sangat
pantas dalam balutan bajunya yang berwarna putih dengan corak bunga-bunga kecil.
Hati Ve sekarang sedang sehangat
mentari, ia sangat bersyukur tidak pernah melaksanakan niatnya untuk mengakhiri
hidup. Ia hanya ingin hal ini tidak berlangsung sementara dan bahwa ini
bukanlah sekadar mimpi.
“So, how? Seneng, kan?”
Marvell menggandeng tangan Ve dan sekarang mereka sudah berada di dataran yang cukup
tinggi, di mana mereka bisa melihat sebagian kota Bandung di malam hari.
Kerlap-kerlip yang tak beraturan di bawah sana membuat Bandung tampak seperti
langit yang bertaburkan kejora.
Ve mengangguk dan mengucapkan
terima kasih. Ia menyesap minumannya. Ia hanya tidak bisa berkata banyak saat
ini. Hatinya sedang penuh sesak dengan kebahagiaan. Ia juga bisa merasakan
wajahnya merona karena teralu bersemangat.
Aku
janji bakal bikin kamu lebih seneng lagi, Ve. Batin Marvell sambil menatap wajah tirus Ve.
Begitu terus, mereka semakin
dekat dari hari ke hari. Ve seperti menemukan seorang sahabat yang sama sekali
tidak menghakiminya karena kesalahan di masa lalunya. Ve juga sudah menemukan
satu lagi alasannya untuk terus bertahan hidup melawan cacian juga penyakitnya.
Mungkin, tanpa mereka sadari, keduanya telah saling mempercayakan hati
masing-masing.
Seniornya yang hadir tanpa
pernah diduganya. Senior yang datang membawa berkarung-karung kebahagiaan dan
menyingkirkan sedikit demi sedikit awan hitam dalam hidupnya. Sosok yang tak
diundang namun diam-diam diimpikan. Sosok yang tidak peduli dengan perkataan
orang lain tentang kedekatan mereka.
Malam di hari pertama bulan Desember ini, Ve diajak
makan malam oleh Marvell. Marvell memesankan satu meja khusus untuk mereka
berdua di sebuah restoran yang sangat terkenal di pinggiran kota Bandung.
Suasananya tidak terlalu ramai karena malam itu bukanlah malam Minggu ataupun
hari libur lainnya.
Ve mengenakan terusan putih yang
simpel dan hak tinggi berwarna senada. Sedangkan Marvell mengenakan kemeja dan
celana panjang berwarna gelap. Kacamata putih tipisnya kembali membingkai kedua
matanya.
Mereka berbincang dengan iringan
musik klasik yang mengalun lembut dan menenangkan. Mereka menghabiskan makanan
dengan lontaran candaan-candaan khas Marvell. Ditambah arsitektur ruangan yang
sangat menarik juga dengan pencahayaan ruangan yang emas-oranye, suasana malam
itu menjadi semakin teduh dan romantis.
Setelah menghabiskan makanan,
mereka berencana untuk menelusuri pinggiran kota Bandung. Sementara Marvell
mengurus pembayarannya, Ve pamit ke toilet karena ingin membuang air.
Ia membuka pintu toilet dan masuk. Tapi, hak tinggi Ve
membuatnya tergelincir saat menyentuh lantai yang baru saja dipel. Ve jatuh dan
kepalanya menghantam dinding dengan cukup keras. Darah dari kepalanya mengalir
dan terus mengalir. Ve berusaha menahan sakit, tapi hal yang terakhir yang ia
lihat adalah orang-orang berteriak panik membangunkannya.
Marvell yang tengah menyusul Ve
sama-samar mendengar teriakan dari toilet wanita. Ia berlari. Melihat Ve tengah
diguncang-guncang dan baju putihnya mulai dipenuhi bercak darah, Marvell
membeku. Seluruh saraf dalam dirinya seolah putus dan keringatnya mengalir
dengan deras.
Ia berusaha melawan seluruh
goncangan yang baru ia terima. Ia mulai kmendekati Ve dan pandangannya tidak
terlepas dari Ve sedikit pun. Ia menerobos kerumunan yang hanya bisa
berteriak-teriak dengan sumbang tanpa berbuat apa-apa itu. Ia merengkuh dan
memeluk tubuh Ve yang ringkih dan membawanya pergi.
“Ve.... Ve... tolong bangun... Ayo, bertahan, Ve! Ja...
jangan pingsan. Ayo, bicara sesuatu...” pinta Marvell setengah mati menahan
diri untuk tidak menangis.
Nafas Ve yang pendek-pendek
membuat Marvell berlari semakin kencang ke mobilnya dan segera menancap gas ke
rumah sakit yang bisa ia capai dalam hitungan menit. Ve dilarikan ke UGD dan
Marvell juga menghubungi kedua orang tua Ve.
Tak lama, orang tua Ve datang
dengan wajah yang jelas-jelas cemas dan khawatir. Marvell juga sama sekali tak
bisa menjelaskan mengapa Ve bisa begitu. Dia hanya bisa diam di sana, menunggu
tidak tenang dengan keringat yang terus membanjiri dirinya. Hati dan pikirannya
begitu berantakan.
Marvell menarik rambutnya dengan kedua tangannya.
Seluruh saraf di kepalanya menegang dan urat-urat tangannya timbul. Setengah menahan dirinya untuk tidak
berteriak pasrah dan menabrakkan kepalanya sendiri ke dinding di belakangnya.
Dokter keluar dan berkata bahwa
Ve sempat kekurangan darah O. Namun, hal itu sudah diatasi dengan persediaan
darah yang ada di rumah sakit. Orang tua dan juga Marvell turut menghela nafas
lega. Mereka pun menyusul Ve yang sudah terlebih dahulu dipindahkan ke ruang
rawat inap.
Ve siuman. Bibirnya begitu pucat
dan kering, wajahnya nyaris seputih kertas, namun matanya masih mata yang sama,
mata yang masih memiliki keinginan untuk terus bertahan hidup. Marvell
tersenyum dan setengah memeluk Ve karena Ve masih berbaring.
“VE!!! Kamu kenapa bisa begitu? Aku hampir gila dan
aku bisa mati melihatmu berdarah-darah begitu!”
“Ke... kenap.. pa?” Ve membalas
pelan.
“Apanya?”
“Kenapa kakak... harus begitu
baik dan peduli sa... sama aku?” Ve bersusah payah menjelaskan maksudnya.
“Kenapa harus nanya coba, Ve? Jelas karena aku sayang
sama kamu, lah. Gimana, sih? Memangnya gak
kelihatan?” Marvell berterus terang tanpa peduli ada orang tua Ve di sana. Ia
merasa luar biasa lega malaikat kecilnya sadar dan tidak apa-apa.
Ve senang. Ia merasa ada yang
menggeletiki perutnya hingga ia menarik kedua ujung bibirnya membentuk seulas
senyum. Senyuman pertama setelah ia sadar, untuk seorang Marvell, senior yang
ia cintai teramat sangat.
“Mianhae, jeongmal mianhae... Saranghae, sunbae,.1” balas
Ve pelan, nyaris tak terdengar.
“Apa? Kamu bicara apa barusan,
Ve?” Marvell tersenyum begitu memesona dengan satu lesung pipinya itu.
Ve diam, ia tahu seniornya mengerti dan pura-pura
tidak mendengar.
Saat ini, hanya bersama Ve-lah yang diinginkan Marvell. Ia tak
ingin lebih, menjaga dan melindungi Ve dengan seluruh miliknya. Menyingkirkan secara
tak bersisa awan hitam yang bergelayut manja dalam hidup Ve. Menjadi sosok yang
dicintai Ve seorang. Itu semua sudah lebih dari cukup untuk Marvell.
~
2016.
Ukiran nama Giselle Veranny di nisan
itu masih kokoh meski sudah berusia empat tahun dan dikotori tanah. Ya, dokter
itu pernah berkata bahwa Ve tak bisa bertahan terlalu lama dan ternyata benar,
Ve hanya bisa bertahan tak lebih dari dua tahun dan meninggal di dalam
tidurnya. Tidur dengan memeluk sebuah boneka pemberian Marvell.
Marvell, ia datang dengan kemeja
hitam dan celana panjang yang juga berwarna hitam. Sepatu pantofel yang
mengkilat juga menjadi pelengkap pakaiannya hari ini. Seikat bunga mawar putih
kesukaan Ve ada di tangannya. Diletakkannya bunga itu di tempat yang pas dan
tangan kekarnya mulai mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh tak menentu.
“Ve... malaikat kecilku yang
manis. Aku sudah cukup sukses sekarang. Dulu, rencanaku adalah keliling dunia sama
kamu. Aku mau memainkan semua wahana yang ada di dunia ini sama kamu, apalagi
terowongan hantu yang ada di London itu, Ve, yang waktu itu kita lihat
sama-sama di TV. Aku juga pengen bawa kamu menyicipi makanan-makanan yang ada
di belahan dunia lain. Tapi, mungkin di sana kamu sudah bisa melakukannya, Ve,”
Marvell melepas kacamatanya yang sudah bertambah tebal sejak pertemuan terakhir
mereka.
“Ve, kamu masih suka gulali kapas, gak? Masih ingat rasanya? Manisnya cuma
kerasa sebentar dan bakal hilang begitu aja di mulut. Sama sepertimu. Manis
bersama kamu itu sebentar banget, cuma dua
tahun, Ve. Habis itu kamu pamit sama seluruh dunia. Eh, tapi kamu bahkan gak pamit sama aku, Ve. Kamu pergi di
saat kamu tertidur lelap, seperti anak kecil yang baru dibuai ibunya. Kamu
pergi di saat aku pikir, aku bakal selama-lamanya hidup bersamamu. Jadi,
salahmu kalau aku single seumur
hidup.”
“Kalau di sana bulu matamu
rontok, mungkin itu karena aku yang keterlaluan kangennya sama kamu. Siapa
suruh kamu gak ada di sini? Siapa
suruh juga kamu ngangenin sekali jadi
cewek? Masa iya, tiap malam aku pandangin album foto kita yang gak akan pernah nambah foto baru lagi?
Masa iya, tiap malam aku dengerin
nyanyianmu pas aku ulang tahun waktu itu? Kan, aku gak ulang tahun tiap hari, Ve. Untung masih ada beberapa rekaman
video kita yang lain, Ve. Aku kangen berat sama kamu. Kamu sendiri gimana di sana? Aku cuma harap kamu tahu perasaanku di sini, yang kurasa gak akan bisa berubah...”
Marvell menutup percakapannya
dengan mengecup nisan Ve seolah sedang mengecup puncak kepala Ve seperti yang
dahulu sering dilakukannya setiap kali mengantar Ve pulang, tepat di depan
pintu rumah Ve.
Asal tahu
saja, Ve... aku itu masih sayang banget sama kamu dan akan selalu begitu.
Tungguin aku di sana, ya.
things that maybe we need to learn;
never lose hope, it's what lead us to do better
hold on because nothing lasts forever, not even pain, not even happiness
learn from the mistakes
------------------------
Thank you for visiting and reading this post! Leave some comments, maybe? Gomapta!
0 comments:
Posting Komentar