Read more: http://www.uzumaki-popey.com/2013/01/cara-membuat-blog-agar-tidak-bisa-di.html#ixzz2W0ysfoaJ

Anyeong :3

RSS

Apollo - X4



                Holla. Beta kembali lagi untuk menuliskan tentang sebuah ikatan yang tak terlihat. Sebuah ikatan yang membawa kami membentuk kelas yang luar biasa. Sebuah ikatan yang membawa kami bersama menjadi segerombolan gila dan keren. Sebuah ikatan yang menamakan kami sebagai bagian dari anak-anak APOLLO dan SEPULUH EMPAT.
                Banyak sekali yang berkata, bahwa SMA adalah masa-masa terindah dan tak terlupakan. Beta akui, karena beta juga merasakan banyak sekali hal baru yang terjadi SMA ini. Beta juga terpaksa bersyukur terdampar di kelas X4, kelas yang berisi orang-orang GAY, yang – katanya – para perempuan lebih perkasa dan para pria lebih manis dari yang seharusnya
                Bukti :

*foto diambil tergesa-gesa*
                Beta bersyukur bisa terdampar bersama puluhan orang yang entahlah, merasa sial atau malah beruntung karenanya. Bersyukur karena beta merasa mendarat di tujuan yang tepat. Beryukur karena banyak hal yang membuat beta kadang speechless menyaksikan semuanya. Apa pun itu.
                Post kali ini jelas didedikasikan untuk domba-domba X4. Enggak, kami gak punya nama kelas seperti kelas sebelah, kami gak punya baju kelas seperti kelas lain, kami bahkan gak punya wali kelas tetap untuk satu tahun ajaran kami. Tapi, yah, kenapa harus ada nama kelas untuk menyebut diri kami? Kenapa harus ada baju kelas untuk mengidentifikasikan keadaan dan betapa kerennya kami? *menghibur diri perkara gak sempat buat*
                Semuanya dimulai dari MOS SMAKYS yang unforgettable gile lo. Kami dididik sama 12 kakak-kakak MOS yang asyik, gokil, kagak ada duanya, deh! Kami belajar kompak. Kami belajar untuk nunjukkin apa yang kami punya dan apa yang kami bisa. Kami belajar gak ngebeda-bedain. Kami belajar banyak. *sok iya*
                Lalu setelah MOS, kami bersatu menjadi pasukan power ranger, eh, maksud beta pasukan X4 *sok ngelawak*. Kami masih malu-malu hamster awalnya, lalu akhirnya malah jadi hamster-hamster yang malu-maluin. Kenapa hamsters? Karena kami imut abis yakan :3 *ditabok massa*. Ampuni kami, kami hanya sedang dalam masa pertumbuhan... *pasang wajah melas ala anak anjing*
Bukti:

*foto diambil tanpa persiapan berarti*
                Ya, kelas kami juga kismin alias kurang mampu. Kelas kami sering kehilangan spidol dan paling sering membuat guru MTK kami mengomel karena harus kehilangan waktu mengajarnya hanya untuk menunggu datangnya spidol dari Tata Usaha. Tidak ada satu pun mading kelas yang terpampang di dinding kelas kami. Hanya ada sebuah gabus berlapis kain hitam yang jelas-jelas tak pernah kami isi untuk hal apa pun, entah itu tugas-tugas dan ulangan, atau pun kegiatan-kegiatan kelas.
                Bahas soal mading kelas, beta sempat melihat betapa kelas sebelah mempunyai mading yang kreatif, memampang foto-foto saat mereka mengadakan kegiatan bersama. Disusun sedemikian rupa membuatku yang kadang melihatnya, sangat cepat berdecak kagum dan iri tapi juga sangat cepat melupakan perasaan-perasaan sok penting itu. *pasang high heels*
                Soal wali kelas, hanya kelas X4 yang mendapat kesempatan dibimbing oleh dua wali kelas yang berbeda pada semeser pertama dan terakhir. Semester pertama kami dibimbing oleh Pak Djohan – yang kini sudah naik jabatan menjadi wakil kepala sekolah – dan kemudian digantikan oleh Pak Fillus di semester berikutnya. Seorang pakar ilmu Fisika, seorang lagi seorang atlet. Beta tahu, kami semua memang keyeeeeen beudh. *pasang kacamata hitam*
                Tapi kami enggak hanya punya kekurangan ini dan itu, kami juga punya keahlian. Setiap ada acara menghias kelas, kami selalu menyabet juara satu. Kemarin, saat ada lomba masak, kami menyabet juara dua. Kelas kami juga sering bermain futsal bareng yang bisa dibilang cukup rutin. Jika ada pertandingan dengan kelas lain, kelas kami juga cukup sering menang.
Kami punya musisi-musisi keren di sini. Kami juga punya pelawak pra-profesional di sini. Kami punya orang-orang yang berseni tinggi. Kami punya genius yang bisa kami kambing-hitamkan kalau pelajaran Fisika mengetuk pintu kelas kami (sekolah kami gak ada pintu kelas, sih). Kami punya ketua kelas yang juga berganti dua kali. Pertama, seorang atlet taekwondo dan gitaris hebat yang bakal ikutan pertukaran pelajar Agustus ini – yang cukup mentelzx – dan yang kedua seorang pelawak abal-abal, seorang b-boy, dan sekarang kepalanya botak – well, gak botak-botak amat, sih – yang kalau beta lihat, jadi pengen tarok mobil biar ngelindes itu kepala! Kami punya pemain-pemain bola yang jagoooooo. Kami punya wanita-wanita perkasa. Kami punya pemain basket yang we o we, WOW – yan sering diperas buat nraktir maicih atau pun karuhun. Kami punya seseorang yang hampir selalu menceritakan dan sayang banget sama neneknya.  Dan kami punya zombie. Iya, ZOMBIE. Nah lho, keren banget, kan?! Cukup, jangan siap siaga ngambil pistol atau pisau gitu, ini bukan Resident Evil, kok. *buka lagu Gangnam*
Nah, saat classmeeting kemarin lebih sering kami isi dengan ikutan lomba-lomba yang diadain, Counter Strike, futsal campuran, Yos Idol, dan lomba masak. Kalau jadwal kosong, kelas beta bakal penuh dengan orang-orang yang bermain dengan kartu. Entah ada tiga atau empat meja yang dibuka entah hanya untuk sekedar bermain capsa, poker, black jack, atau pun permainan kartu yang membutuhkan ketelitian dan kecepatan mata seperti Speed. Bahkan ada beberapa yang belajar sulap untuk membodoh-bodohi orang yang tak tahu-menahu, yang sulap terlihat pintar dan yang dikerjain terlihat semakin miris. Padahal sulap itu kan, penuh kebohongan. *nyari korban*
                Yang jelas, beta senang sekali bisa mengenal makhluk-makhluk ajaib di kelas ini, kelas SEPULUH EMPAT yang saat ini udah jadi kenangan. Beta bahagia mendapat kesempatan untuk jadi bagian dari kelas yang lebih sering kotor daripada bersih ini. Kelas yang aduhai hebatnya. Kelas yang bakal nulis aneh-aneh kalau pelajaran Bahasa Indonesia sedang masuk materi puisi atau pun cerpen, yang akhirnya malah jadi susah sendiri.
                Kelas yang udah bikin beta merasa sudah mendapatkan tahun terindah sepanjang hidup. Kelas yang udah bikin beta kenal sama orang-orang berdosa itu banyak dan di mana-mana *eh*. Kelas yang pokoknya selama beta tak amnesia, tak akan beta lupakan, deh! Kelas yang bikin beta bingung, harus dihajar apa dikasih hadiah. Kelas yang kagak bakal ada duanya. Kelas yang beta cinta. Kelas yang bikin beta merengek-rengek pengen ikutan perpisahan tapi gak kesampaian.
                SEPULUH EMPAT EMANG LUAR BIASA, DEH. SALUT SAMA SEMPAK (Sepuluh Empat Keren) :* Jangan lupain beta ya, wahai para jahan*m ;) muaaachhh :*


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gulali Kapas (Cerpen)


HAI, baru sempat nge-post. Aku ngasih pembaca sekalian satu cerpen yang merupakan gabungan dari beberapa fakta dan beberapa khayalan. ENJOY :)

~

Tiga tahun sudah berlalu semenjak gadis mungil itu memulai kehidupan baru di sekolah barunya. Ia sudah bisa bercanda-tawa dan sedikit-sedikit melupakan masa lalunya yang kelam. Ia juga sudah memiliki banyak teman dan bahkan menjadi anak kesayangan beberapa guru.


Namun, anemia yang dideritanya ternyata semakin tidak bersahabat. Sampai suatu hari, ia jatuh pingsan di sekolah dan koma selama dua hari, tertidur begitu pulas dengan wajah yang sangat polos.

Saat ia bangun, ia tak mendapati satu orang pun di ruangannya. Namun, orang tuanya dan seorang suster masuk tak lama setelah ia siuman.

“Veranny sudah merasa lebih baik?” ujar si perawat sambil meletakkan makanan untuk gadis itu dan tersenyum.


“Sudah, Sus. Thanks, ya,” balasnya ikut tersenyum ramah.

“Ma, memangnya Ve gak sadar berapa hari? Kok, Ve bisa pingsan?”

“Hampir dua hari, Ve. Kamu itu mau mama sama papa dapat serangan jantung, ya? Pingsan tiba-tiba. Kata dokter, kamu minum obatnya gak teratur, Ve.”


Ve, nama panggilan gadis tujuh belas tahun itu, mengangguk mengerti dan tersenyum bersalah melihat kedua orang tuanya cemas. Melihat mereka khawatir karenanya adalah hal yang tak pernah ada dalam daftar hal yang ingin dilakukannya.


“Suster, besok saya sudah boleh sekolah?”


“Belum, kamu baru boleh pulang besok, Veranny. Lusa kamu sudah boleh sekolah. Ingat jaga kesehatan, ya.” 


Ve mengangguk lagi. Berada di rumah sakit juga merupakan salah satu hal yang dibencinya. Bosan dan kantuklah yang akan menyerangnya. Untungnya, mamanya yang begitu perhatian membawakan i-Pad dan beberapa camilan kesukaannya.


Ia mulai bermain dengan social media-nya. Melihat facebook juga twitter miliknya, berharap ada ucapan cepat sembuh dari teman-temannya. Namun, ternyata ia malah mendapatkan kejutan lebih dari itu.


Ia melihat sebuah link yang masuk ke dalam mention di twitter-nya. Tak perlu membuka isi link itu, Ve sudah tahu. Ia tahu apa yang ada di dalamnya. Semua caci-maki dan cibiran pedas dan menusuk hati dari teman-temannya menjadi jawabannya.


“Dasar cewek tidak tahu malu!  Hampir tiga tahun berteman dengan seseorang yang kukira polos, namun ternyata hina sekali!” Begitu bunyi salah satu mention yang masuk. 

Video yang sama dari tiga tahun yang lalu. Video yang mungkin tak akan pernah berhenti ia sesali. Sebuah kesalahan yang meluluhlantakkan harga dirinya. Kesalahan yang terus membuatnya terpojok dan merasa dingin memilukan kala malam tiba. Kesalahan yang sempat membuatnya ingin mengakhiri hidupnya yang berharga. 

Video itu kembali merobohkan seluruh dinding yang tengah ia bangun, dinding yang ia namai sebagai harga diri. Video itu kembali bergelantungan bak awan hitam dalam hidupnya. Video itu kembali menguak luka dan cerita lama. Kisah yang benar-benar tak ingin Ve tuturkan kepada siapa pun.

~

3 tahun lalu, tepat pada tahun 2007, saat ia masih seorang gadis kecil yang polos, saat ia baru saja menjadi salah satu pengguna internet dan mengenal seorang laki-laki melalui salah satu media sosial. Mereka berkenalan gadis polos ini mengira bahwa ia adalah laki-laki yang bermoral baik. 

Mereka semakin dekat dari hari ke hari, berbagai hal-hal yang bersifat pribadi pun telah meluncur menjadi bahan pembicaraan mereka. Sampai suatu hari, muncul suatu permohonan yang berubah menjadi ancaman.

  
Laki-laki yang ternyata seorang maniak. Laki-laki maniak itu meminta gadis kecil untuk menunjukkan dadanya melalui sebuah video call. Tentu saja gadis kecil itu menolak. Rayuan demi rayuan berhasil membuatnya menunjukkan sedikit. Ia berpikir, tidak apa-apa bila ia menunjukkan sedikit saja. 


Hari-hari berlalu dan maniak itu kembali meminta hal yang sama. Kali ini, ia memaksa. Ia mengancam akan menyebarkan rekaman video kemarin bila dia mendapat jawaban berupa penolakan. Ketakutan mulai menguasai gadis kecil itu. Ia takut dan merasa tak berdaya. Semua teman-temannya pasti akan menjauhi dan membencinya.


Namun, gadis kecil tahu bahwa ia telah berbuat satu kesalahan dan ia bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ia menolak dengan keras. Maniak tersebut ternyata tidak bermain-main dengan ancamannya. Esoknya di sekolah, gadis kecil yang polos telah menjadi bahan untuk dicaci-maki dan dilukai karena videonya sudah bocor bagaikan radiasi.
 
Ia pulang dengan harga diri dan perasaan yang tersayat parah dan dalam. Ia merasa begitu hina dan gagal menjaga dirinya sebagai seorang perempuan. Ia merasa begitu terpuruk dalam ketidakberdayaannya. Sebagai seorang pelajar pun, namanya sudah tercoreng-moreng.

~

Keinginan Ve untuk bersekolah sirna ditelan luka lama yang kembali muncul ke permukaan. Ve memutuskan untuk berhenti sekolah, ia tidak akan bersekolah lagi. Ia sudah tidak mau berhadapan dengan dunia luar. Ia sudah tidak mau merakit hubungan dengan orang lain selain keluarganya. Ia tak ingin mendengar lebih banyak lagi karena ia sudah lelah mendengar caci-maki itu. Ia tidak akan pernah bisa terbiasa dengan semua perlakuan itu.

Ayah Ve bertindak cepat, ia melaporkan kejadian ini kepada polisi. Seluruh chat Ve dengan laki-laki maniak tersebut diperiksa dan ia tertangkap. Video-video yang beredar di internet pun sudah dihapuskan.   

Namun, itu tak berarti Ve bisa tenang dan merasa damai. Videonya mungkin sudah tidak ada di internet, namun siapa pun yang pernah melihatnya tak akan pernah memandangnya dengan cara yang sama lagi. Semuanya hanya akan menghina dan memandangnya rendah. Melukai dan menginjak harga dirinya yang sudah seperti abu. 

Ia ingat kali terakhir ia bersekolah di sekolah lamanya, wajahnya biru lebam penuh luka. Teman-temannya melemparinya dengan batu-batu kecil dan botol yang masih penuh berisi air. Rambutnya ditarik dan digunting acak-acakan. Di sana, ia hanya bisa duduk menggigil melindungi kepalanya dengan kedua tangannya hingga guru datang melerai.

Ia pulang. Ia menangis dan menangis sepanjang malam hingga jatuh tertidur. Saat pagi tiba, ia bangun dengan wajah yang sanggup menoreh hati siapapun yang melihatnya. Mamanya menangis tanpa bisa berbuat banyak selain memeluk dan memberikan sarapan terbaik yang bisa dibuatnya.  

Setelah hampir tiga bulan sejak ia melepaskan predikat pelajar dari dirinya, tidak pernah ada yang datang menemuinya. Hingga suatu sore yang mendung, datang seorang tamu yang tak pernah diduganya. Seorang senior dari sekolahnya dulu, mengenakan kemeja biru gelap dengan kacamata putih. Ve tidak tahu namanya, tapi ia tahu laki-laki itu adalah seniornya.

“Ah! Akhirnya ketemu juga sama alamatmu, Ve,” ujarnya seraya menampakkan lesung pipinya yang hanya ada di sebelah kanan.

Ve terdiam. Ia melihat keadaan di luar, terparkir mobil ayahnya dan mobil Juke berwarna merah, yang kemungkinan besar adalah milik seniornya itu.

“Emm... Boleh kita bicara?” “Ah, iya. Silakan duduk, Kak. Sebentar, ya,” Ve mempersilakan seniornya duduk di teras sementara ia menyeduhkan teh untuk mereka berdua.

Ve kembali dengan baki berisi satu pot teh hangat dan dua buah cangkir kecil. Dengan hati-hati, ia menuangkan teh tersebut ke dalam dua cangkir kecil itu.


“Ve... kenapa kamu berhenti sekolah?” tanya seniornya membuka percakapan.

“Bukankah sudah jelas, Kak?” jawab Ve pahit sambil membuang pandangannya jauh-jauh.

“Eh, apa kamu sudah mengenalku? Aku rasa tidak, ya?”


Orang gila, bertanya dan menjawab sendiri, batin Ve sambil kembali memandang tamunya itu.


“Namaku George Marvell, kamu bisa manggil aku Marvell, atau Ve saja, biar nama kita sama,” candanya disusul tawa renyahnya.


“Ada apa Kakak ke sini?” tanya Ve langsung.


Marvell terdiam. Ia tampak sedang berpikir akan menjawab apa.

“Aku cuma mau berteman sama kamu. Boleh, kan? Aku tahu soal video itu. Tapi yang gak bisa aku pahami adalah, kenapa kamu gak pernah memberikan penjelasan ataupun perlawanan saat mereka menindasmu? Aku yakin, kamu cuma terlalu polos waktu itu.” 

“Semuanya memang salahku, Kak. Begitu polosnya mempercayai orang, menjadi begitu hina dan tak berharga. Untuk apa, sih?” Ve yang biasanya ramah berubah sinis. Entah mengapa ia merasa seniornya terlalu ikut campur.

Meski begitu, tak urung Ve merasa tersentuh. Karena ternyata, selain kedua orang tuanya, masih ada yang menaruh perhatian padanya. Ia bersyukur kepada Tuhan, teramat sangat.

“Untuk membangun kembali harga dirimu, kalau begitu. Tapi gak apa, sih, kalau kamu enggak mau.” Marvell terdiam lagi, merasa bersalah. Begitu juga dengan Ve.

“Ve?” panggilnya.

Ve mendongak, menatap wajah seniornya.

“Aku sudah lulus sekolah dan tinggal menunggu hasil tes masuk perguruan tinggi. Jadi, aku akan libur sampai kuliahnya dimulai.”

“Lalu?” Ve bertanya tak paham. “Kamu akan jadi teman liburanku. Kamu juga gak sekolah, kan? Daripada mengurung diri di rumah lagi, aku bakal ajak kamu pergi. Jam 11 pagi, ya. Daaah!” Marvell pamit pada Ve dan meluncur dengan Juke merahnya.

Ve ditinggal dalam keadaan kaget dan bingung. Berada antara percaya dan tidak. Namun akhirnya, ia tersenyum. Mungkin, ia hanya harus mulai menata kembali hidupnya. Mungkin, ia hanya harus menapaki jalan lain, jalan di mana awan hitam tidak lagi bergelayut di atasnya. Semoga saja, kali ini ia tidak akan dilukai lagi. 

Esoknya, Marvell benar-benar datang, bahkan lebih awal dari janjinya. Ve yang sedang menyesap tehnya pun hanya bisa memasang wajah bodoh saat ia masuk ke dalam rumah Ve yang kebetulan tidak terkunci dan menuju ke tempat mama Ve berada. 

Setelah berbincang beberapa saat dengan mama Ve, Marvell kembali ke tempat Ve berada dan meraih tangan kanannya. Kali ini, Marvell tidak mengenakan kacamata putihnya, menampakkan mata cokelat gelapnya yang berbinar nakal. 

“Ayo! Kamu pasti suka.” Marvell tersenyum dan menampakkan kembali lesung pipinya yang hanya satu itu. Ia lalu menarik tangan Ve dan meluncur dengan Juke merahnya. 

Marvell membawa Ve ke wahana bermain. Ve awalnya sama sekali tidak berani mencoba wahana apapun karena takut. Namun, ia berhasil dipaksa oleh seniornya itu. Marvell membelikan Ve dua gulali kapas dan Ve juga tampak sangat ceria. Ia tampak sangat bersemangat dan sangat pantas dalam balutan bajunya yang berwarna putih dengan corak bunga-bunga kecil. 

Hati Ve sekarang sedang sehangat mentari, ia sangat bersyukur tidak pernah melaksanakan niatnya untuk mengakhiri hidup. Ia hanya ingin hal ini tidak berlangsung sementara dan bahwa ini bukanlah sekadar mimpi. 

So, how? Seneng, kan?” Marvell menggandeng tangan Ve dan sekarang mereka sudah berada di dataran yang cukup tinggi, di mana mereka bisa melihat sebagian kota Bandung di malam hari. Kerlap-kerlip yang tak beraturan di bawah sana membuat Bandung tampak seperti langit yang bertaburkan kejora.

Ve mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia menyesap minumannya. Ia hanya tidak bisa berkata banyak saat ini. Hatinya sedang penuh sesak dengan kebahagiaan. Ia juga bisa merasakan wajahnya merona karena teralu bersemangat. Aku janji bakal bikin kamu lebih seneng lagi, Ve. Batin Marvell sambil menatap wajah tirus Ve.

Begitu terus, mereka semakin dekat dari hari ke hari. Ve seperti menemukan seorang sahabat yang sama sekali tidak menghakiminya karena kesalahan di masa lalunya. Ve juga sudah menemukan satu lagi alasannya untuk terus bertahan hidup melawan cacian juga penyakitnya. Mungkin, tanpa mereka sadari, keduanya telah saling mempercayakan hati masing-masing.

Seniornya yang hadir tanpa pernah diduganya. Senior yang datang membawa berkarung-karung kebahagiaan dan menyingkirkan sedikit demi sedikit awan hitam dalam hidupnya. Sosok yang tak diundang namun diam-diam diimpikan. Sosok yang tidak peduli dengan perkataan orang lain tentang kedekatan mereka.    

Malam di hari pertama bulan Desember ini, Ve diajak makan malam oleh Marvell. Marvell memesankan satu meja khusus untuk mereka berdua di sebuah restoran yang sangat terkenal di pinggiran kota Bandung. Suasananya tidak terlalu ramai karena malam itu bukanlah malam Minggu ataupun hari libur lainnya.

Ve mengenakan terusan putih yang simpel dan hak tinggi berwarna senada. Sedangkan Marvell mengenakan kemeja dan celana panjang berwarna gelap. Kacamata putih tipisnya kembali membingkai kedua matanya. 

Mereka berbincang dengan iringan musik klasik yang mengalun lembut dan menenangkan. Mereka menghabiskan makanan dengan lontaran candaan-candaan khas Marvell. Ditambah arsitektur ruangan yang sangat menarik juga dengan pencahayaan ruangan yang emas-oranye, suasana malam itu menjadi semakin teduh dan romantis. 

Setelah menghabiskan makanan, mereka berencana untuk menelusuri pinggiran kota Bandung. Sementara Marvell mengurus pembayarannya, Ve pamit ke toilet karena ingin membuang air. Ia membuka pintu toilet dan masuk. Tapi, hak tinggi Ve membuatnya tergelincir saat menyentuh lantai yang baru saja dipel. Ve jatuh dan kepalanya menghantam dinding dengan cukup keras. Darah dari kepalanya mengalir dan terus mengalir. Ve berusaha menahan sakit, tapi hal yang terakhir yang ia lihat adalah orang-orang berteriak panik membangunkannya.

Marvell yang tengah menyusul Ve sama-samar mendengar teriakan dari toilet wanita. Ia berlari. Melihat Ve tengah diguncang-guncang dan baju putihnya mulai dipenuhi bercak darah, Marvell membeku. Seluruh saraf dalam dirinya seolah putus dan keringatnya mengalir dengan deras.

Ia berusaha melawan seluruh goncangan yang baru ia terima. Ia mulai kmendekati Ve dan pandangannya tidak terlepas dari Ve sedikit pun. Ia menerobos kerumunan yang hanya bisa berteriak-teriak dengan sumbang tanpa berbuat apa-apa itu. Ia merengkuh dan memeluk tubuh Ve yang ringkih dan membawanya pergi. 

“Ve.... Ve... tolong bangun... Ayo, bertahan, Ve! Ja... jangan pingsan. Ayo, bicara sesuatu...” pinta Marvell setengah mati menahan diri untuk tidak menangis.

Nafas Ve yang pendek-pendek membuat Marvell berlari semakin kencang ke mobilnya dan segera menancap gas ke rumah sakit yang bisa ia capai dalam hitungan menit. Ve dilarikan ke UGD dan Marvell juga menghubungi kedua orang tua Ve.

Tak lama, orang tua Ve datang dengan wajah yang jelas-jelas cemas dan khawatir. Marvell juga sama sekali tak bisa menjelaskan mengapa Ve bisa begitu. Dia hanya bisa diam di sana, menunggu tidak tenang dengan keringat yang terus membanjiri dirinya. Hati dan pikirannya begitu berantakan.  

Marvell menarik rambutnya dengan kedua tangannya. Seluruh saraf di kepalanya menegang dan urat-urat tangannya timbul.  Setengah menahan dirinya untuk tidak berteriak pasrah dan menabrakkan kepalanya sendiri ke dinding di belakangnya.

Dokter keluar dan berkata bahwa Ve sempat kekurangan darah O. Namun, hal itu sudah diatasi dengan persediaan darah yang ada di rumah sakit. Orang tua dan juga Marvell turut menghela nafas lega. Mereka pun menyusul Ve yang sudah terlebih dahulu dipindahkan ke ruang rawat inap.

Ve siuman. Bibirnya begitu pucat dan kering, wajahnya nyaris seputih kertas, namun matanya masih mata yang sama, mata yang masih memiliki keinginan untuk terus bertahan hidup. Marvell tersenyum dan setengah memeluk Ve karena Ve masih berbaring.  

“VE!!! Kamu kenapa bisa begitu? Aku hampir gila dan aku bisa mati melihatmu berdarah-darah begitu!”

“Ke... kenap.. pa?” Ve membalas pelan.

“Apanya?”

“Kenapa kakak... harus begitu baik dan peduli sa... sama aku?” Ve bersusah payah menjelaskan maksudnya. 

“Kenapa harus nanya coba, Ve? Jelas karena aku sayang sama kamu, lah. Gimana, sih? Memangnya gak kelihatan?” Marvell berterus terang tanpa peduli ada orang tua Ve di sana. Ia merasa luar biasa lega malaikat kecilnya sadar dan tidak apa-apa.

Ve senang. Ia merasa ada yang menggeletiki perutnya hingga ia menarik kedua ujung bibirnya membentuk seulas senyum. Senyuman pertama setelah ia sadar, untuk seorang Marvell, senior yang ia cintai teramat sangat. 

Mianhae, jeongmal mianhae... Saranghae, sunbae,.1 balas Ve pelan, nyaris tak terdengar. 

“Apa? Kamu bicara apa barusan, Ve?” Marvell tersenyum begitu memesona dengan satu lesung pipinya itu. Ve diam, ia tahu seniornya mengerti dan pura-pura tidak mendengar. 

Saat ini, hanya bersama Ve-lah yang diinginkan Marvell. Ia tak ingin lebih, menjaga dan melindungi Ve dengan seluruh miliknya. Menyingkirkan secara tak bersisa awan hitam yang bergelayut manja dalam hidup Ve. Menjadi sosok yang dicintai Ve seorang. Itu semua sudah lebih dari cukup untuk Marvell.

~

2016. 

Ukiran nama Giselle Veranny di nisan itu masih kokoh meski sudah berusia empat tahun dan dikotori tanah. Ya, dokter itu pernah berkata bahwa Ve tak bisa bertahan terlalu lama dan ternyata benar, Ve hanya bisa bertahan tak lebih dari dua tahun dan meninggal di dalam tidurnya. Tidur dengan memeluk sebuah boneka pemberian Marvell. 

Marvell, ia datang dengan kemeja hitam dan celana panjang yang juga berwarna hitam. Sepatu pantofel yang mengkilat juga menjadi pelengkap pakaiannya hari ini. Seikat bunga mawar putih kesukaan Ve ada di tangannya. Diletakkannya bunga itu di tempat yang pas dan tangan kekarnya mulai mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh tak menentu. 

“Ve... malaikat kecilku yang manis. Aku sudah cukup sukses sekarang. Dulu, rencanaku adalah keliling dunia sama kamu. Aku mau memainkan semua wahana yang ada di dunia ini sama kamu, apalagi terowongan hantu yang ada di London itu, Ve, yang waktu itu kita lihat sama-sama di TV. Aku juga pengen bawa kamu menyicipi makanan-makanan yang ada di belahan dunia lain. Tapi, mungkin di sana kamu sudah bisa melakukannya, Ve,” Marvell melepas kacamatanya yang sudah bertambah tebal sejak pertemuan terakhir mereka.  

“Ve, kamu masih suka gulali kapas, gak? Masih ingat rasanya? Manisnya cuma kerasa sebentar dan bakal hilang begitu aja di mulut. Sama sepertimu. Manis bersama kamu itu sebentar banget, cuma dua tahun, Ve. Habis itu kamu pamit sama seluruh dunia. Eh, tapi kamu bahkan gak pamit sama aku, Ve. Kamu pergi di saat kamu tertidur lelap, seperti anak kecil yang baru dibuai ibunya. Kamu pergi di saat aku pikir, aku bakal selama-lamanya hidup bersamamu. Jadi, salahmu kalau aku single seumur hidup.”

“Kalau di sana bulu matamu rontok, mungkin itu karena aku yang keterlaluan kangennya sama kamu. Siapa suruh kamu gak ada di sini? Siapa suruh juga kamu ngangenin sekali jadi cewek? Masa iya, tiap malam aku pandangin album foto kita yang gak akan pernah nambah foto baru lagi? Masa iya, tiap malam aku dengerin nyanyianmu pas aku ulang tahun waktu itu? Kan, aku gak ulang tahun tiap hari, Ve. Untung masih ada beberapa rekaman video kita yang lain, Ve. Aku kangen berat sama kamu. Kamu sendiri gimana di sana? Aku cuma harap kamu tahu perasaanku di sini, yang kurasa gak akan bisa berubah...”

Marvell menutup percakapannya dengan mengecup nisan Ve seolah sedang mengecup puncak kepala Ve seperti yang dahulu sering dilakukannya setiap kali mengantar Ve pulang, tepat di depan pintu rumah Ve.  

Asal tahu saja, Ve... aku itu masih sayang banget sama kamu dan akan selalu begitu. Tungguin aku di sana, ya.


  
things that maybe we need to learn; 
never lose hope, it's what lead us to do better
hold on because nothing lasts forever, not even pain, not even happiness
 learn from the mistakes 

------------------------

Thank you for visiting and reading this post! Leave some comments, maybe? Gomapta!
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hi,

Thanks for visiting , don't forget to check out the others!